ACALAPATI
Edisia Permata
Pukul enam pagi.
Dingin
udara hampir membuat sebagian penduduk malas untuk keluar rumah dan melakukan
aktivitas hari itu. Cahaya matahari seolah enggan bersolek dan menghantarkan
kehangatan.
Berbeda
halnya dengan para pedagang, riuh suasana pasar bahkan sudah terdengar saling
sahut-menyahut. Membuat siapa pun akan dengan senang hati menutup telinga
mereka. Di sudut pasar, seorang penjual bakso bahkan telah bersiap membuka
lapak baksonya.
Siapa
yang tak kenal dengan “Bakso Mang Tara”? Penduduk desa kecil itu mungkin hampir
semuanya telah merasakan kenikmatannya. Lembutnya daging bakso yang digigit
dengan tambahan kuah panas yang gurih serta mie bihun dan tahu itu begitu
memanjakan lidah. Bakso dengan nama julukan “Bakso Amartya” akan memikat
orang-orang yang datang mengunjungi desa kecil dengan sejuta keindahan ini,
untuk datang lagi dan lagi hanya untuk semangkuk nikmat dan gurihnya.
Desa
ini dikenal dengan wisata alam dan keasrian hutan yang masih terjaga dengan
baik. Sungai Abhipraya yang mengelilingi desa terlihat bagai induk ular yang
melindungi telur-telurnya. Curug Camani adalah salah satu destinasi paling
diminati di desa tersebut. Jika diibaratkan, desa ini seperti mutiara di dalam
kerang, indah namun terlindungi dan susah didapatkan.
Keindahan
yang berharga terkadang harus dibayar dengan sesuatu yang berharga pula,
termasuk desa ini. Desa Timira selain dikenal dengan indahnya alam dan sejuknya
udara, menyimpan satu mitos yang cukup membuat siapa saja merasakan kengerian
dan ketakutan. Seperti namanya, “Timira” yang memiliki arti gelap dan suram,
mitosnya setiap malam yang dihiasi purnama akan ada satu penduduk desa yang
tiba-tiba lenyap begitu saja karena cahaya bulan tak dapat menyinari kegelapan
malam. Tak pernah diketahui ke mana perginya penduduk tersebut. Desas-desus
yang terdengar mengatakan bahwa penduduk-penduduk itu dimakan oleh Badasa.
Badasa
adalah penunggu desa yang digambarkan memiliki perawakan tinggi dengan jubah
hitam menutup seluruh tubuh. Wajahnya tak pernah terlihat akibat malam yang
gelap dan rindang pepohonan. Penduduk desa beranggapan bahwa Badasa akan
mengisap jiwa-jiwa orang yang keluar saat malam telah tiba dan menjadikan
tubuhnya sebagai santapan yang lezat.
Mitos
yang telah melekat pada Desa Timira menarik perhatian salah satu anggota
kepolisian kota untuk mengungkap misteri di balik terkenalnya sosok Badasa.
Namanya Jagaratra, yang berarti selalu waspada. Tubuhnya kurus dan tinggi. Ia
sudah melakukan investigasi di Desa Timira selama satu bulan. Jagaratra
menginap di rumah Mang Tara, penjual bakso paling terkenal di pasar.
Selama
satu bulan itu, tak satu pun bukti yang ia dapatkan. Padahal, sudah hampir
semua penduduk telah ia tanyai. Namun, usahanya terasa sia-sia saja. Seminggu
lagi, Jagaratra diharuskan untuk kembali pulang ke kota, sebab tugasnya di
kantor kepolisian telah menumpuk dan perlu diselesaikan. Sebenarnya, Jagaratra
belum ingin pulang. Ia masih penasaran mengenai siapa sebenarnya sosok Badasa
ini.
“Mang,
bolehkah saya bertanya tentang sesuatu kepada Mamang?” tanya Jagaratra kepada
Mang Tara hati-hati.
“Tentu,
akan saya jawab kalau saya bisa, Nak,”
jawab Mang Tara santai tanpa keraguan sambil sesekali menyeruput kopi
yang masih mengepulkan uap panas.
“Menurut
Mamang, siapa dalang dibalik sosok Badasa? Apakah itu salah satu penduduk
desa?” tanya Jagaratra sedikit menuntut, tapi masih sempat mencomot pisang
goreng di atas sebuah piring anyaman.
“Hmm,
Mamang sebenarnya tidak mau berspekulasi mengenai hal itu, Nak. Tahu sendiri
kalau topik tentang Badasa sangat sensitif dan terlarang.” Mata Mang Tara
tampak melihat sekilas pada Jagaratra, ada kesenduan di dalamnya.
Sambil
terus mengunyah, Jagaratra bertanya kembali, “Mengapa, Mang?”
“Sudah
cukup lama Mamang hidup sebatang kara, ya itu karena ulah Badasa, Mamang harus
kehilangan anak dan istri,” jawab Mang
Tara dengan kepala tertunduk, kembali mengenang memori masa lalu bersama anak
dan istrinya.
“Tapi
pasti Mamang tahu sesuatu. Katakanlah, Mang, agar saya dapat mengungkap sosok
Badasa. Ini demi anak dan istri Mamang juga,” bujuk Jagaratra kepada Mang Tara.
Mang
Tara nampak masih menimbang-nimbang apakah harus memberikan informasi yang ia
ketahui atau tidak. “Demi keluarga Mamang, baiklah, tapi tetap apa yang Mamang
katakan belum terbukti kebenarannya.”
“Tentu,
katakanlah, Mang.”
“Ada
satu penduduk di Desa Timira yang telah lama Mamang curigai, sebab beberapa
kali melihatnya keluar di malam hari di saat penduduk lain bahkan takut keluar
rumah. Orang itu adalah Pak Chandra,” jelas Mang Tara sedikit berbisik di akhir
kalimatnya.
“Sepertinya
saya tau Pak Chandra ini. Terima kasih atas informasinya, Mang. Saya akan
selidiki lebih lanjut,” jawab Jagaratra sedikit menyunggingkan senyum, merasa
bahwa ia telah mendapatkan petunjuk penting.
Setelah
menyelesaikan perbincangan dengan Mang Tara, Jagaratra mulai mengawasi
pergerakan Pak Chandra. Ia berusaha mengikuti ke mana perginya Pak Chandra di
malam hari meski pada akhirnya Jagaratra selalu kehilangan jejak. Pada
akhirnya, ia memutuskan untuk mendatangi rumah Pak Chandra pada pagi hari untuk
bertanya tentang alasannya pergi setiap malam.
“Pagi, Pak Chandra.
Maaf, tiba-tiba bertamu,” sapa Jagaratra kepada Pak Chandra dengan ramah.
“Pagi, Mas Jaga. Silakan masuk. Maaf kalau rumah saya sedikit
berantakan,” jawab Pak Chandra sambil mempersilakan Jagaratra masuk ke rumahnya
dan duduk di kursi kayu yang tampak reyot.
“Ada perlu apa ya, Mas Jaga menemui saya?”
“Jika Pak Chandra berkenan, bolehkah saya bertanya mengenai alasan
Bapak pergi di saat malam hari?” tanya Jagaratra kepada Pak Chandra hati-hati.
Dari arah dalam rumah, muncul istri Pak Chandra sambil membawakan
dua cangkir kopi dan sepiring pisang goreng. “Silakan dinikmati suguhannya,
Mas. Maaf kalau hanya itu yang dapat saya dan istri berikan.”
“Tidak apa-apa, Pak, ini sudah lebih dari cukup,” jawab
Jagaratra sambil mencomot pisang goreng
di atas sebuah piring anyaman.
“Setiap malam, saya memang selalu menyempatkan pergi ke pasar, Mas
Jaga,” jawab Pak Chandra santai tanpa keraguan sambil sesekali menyeruput kopi
yang masih mengepulkan uap panas.
“Untuk apa, Pak? Bukankah jika ke pasar pada malam hari
berbahaya?” tanya Jagaratra penuh selidik.
“Ada sesuatu yang harus saya kerjakan, Mas,” kata Pak Chandra
dengan mata tampak melihat sekilas pada Jagaratra. Ada kilat tak suka di
dalamnya.
Sambil terus mengunyah, Jagaratra bertanya kembali, “Pak Chandra
tidak takut bertemu Badasa?”
“Buat
apa takut dengan Badasa? Menurut saya, Badasa itu harus dihormati. Dia
penyeimbang ekosistem, kalau diibaratakan seperti puncak tertinggi rantai
makanan. Mas Jaga tau, bumi kita ini semakin berat sebab banyaknya manusia yang tinggal di
atasnya. Kita perlu sosok seperti Badasa untuk mengurangi jumlah manusia yang
semakin bertambah.” Mendengar perkataan Pak Chandra, Jagaratra sontak terkejut.
Keduanya tak lagi melanjutkan perbincangan yang cukup berat untuk dibahas di
pagi hari.
Jagaratra
akhirnya memutuskan untuk pamit undur diri sebab perkataan terakhir dari Pak
Chandra seolah sangat sulit untuk ia sanggah. Jagaratra hanya tidak menyangka
bahwa ada seseorang yang menganggap apa yang dilakukan Badasa itu adalah
perbuatan yang perlu untuk dilakukan. Namun, ia juga berpikir alasan yang
disebutkan Pak Chandra tadi cukup masuk akal. Tetapi, membunuh manusia tetap
menyalahi aturan yang ada.
Hingga
tibalah malam terakhir Jagaratra di desa. Ia pergi mengendap-endap dan menembus
gelap malam. Tubuhnya yang tinggi tak terlihat lagi. Malam itu purnama bersinar
begitu terang, namun terangnya justru membuat Desa Timira lebih mencekam dari
malam-malam sebelumnya. Tiba-tiba Pak Chandra yang berada di luar rumah
membunyikan kentongan dengan keras, berusaha membangunkan para penduduk. Satu
per satu penduduk yang terbangun mendatangi asal suara. Pak Chandra yang telah
mendapati banyak penduduk berkumpul segera memberi tahu bahwa ia telah
mengetahui siapa itu Badasa.
Mereka
akhirnya dapat menangkap sosok yang dianggap Badasa, penunggu desa yang
meresahkan mereka. Ramai penduduk desa bersorak-sorak dan membawa obor,
menyeret Badasa ke sebuah gubuk kecil yang telah disiapkan jika nantinya mereka
dapat menangkapnya.
Badasa
terus meronta sekuat tenaga, suara yang sangat penduduk kenali terdengar
berteriak meminta dilepaskan. Namun, penduduk desa justru semakin terbakar api
amarah setelah mendengar suara tersebut, suara orang yang telah mereka percayai
selama sebulan ini. Suara seorang polisi yang berasal dari kota. Mereka lalu
mendorong sosok itu ke dalam gubuk dan menguncinya. Dengan mengelilingi gubuk,
penduduk beramai-ramai melemparkan obor yang mereka bawa ke arah gubuk
tersebut. Sekejap, api berkobar ganas, melahap gubuk kayu dan sesosok Badasa di
dalamnya.
Malam
itu, Desa Timira semakin terang. Wajah-wajah berseri dan penuh kepuasan nampak
pada setiap penduduk. Mereka berhasil melenyapkan sang malapetaka. Tanpa
menyadari, di bawah pohon besar, sosok kurus tinggi dengan jubah hitam,
menyeringai. Mata merahnya menatap kobaran api yang membubung tinggi.
“Akulah
sang Amartya, abadi sepanjang masa.” Sosok itu berbalik, namun tiba-tiba
seseorang menepuk pundaknya.
“Loh,
Bu Chandra. Sedang apa di sini? Tidak ikut mengadili Badasa?” tanya salah satu
penduduk desa.
“O-oh,
ini baru mau ke sana, Pak,” kata Bu Chandra sedikit terbata sambil mengikuti
langkah penduduk tersebut menuju tempat dibakarnya Badasa.
~Tamat~
bagus banget ceritanya
BalasHapusthanks
Hapusmenarik ini ceritanya
BalasHapusthank you
HapusBagus ceritanya
BalasHapusmakasih kak
HapusCeritanya bagus sekali
BalasHapusmakasih banyak
HapusKece
BalasHapusKeren
BalasHapus