Senin, 25 September 2023

Cerpen ACALAPATI

 

Sumber: Pinterest


ACALAPATI

Edisia Permata

 

Pukul enam pagi.

Dingin udara hampir membuat sebagian penduduk malas untuk keluar rumah dan melakukan aktivitas hari itu. Cahaya matahari seolah enggan bersolek dan menghantarkan kehangatan.

Berbeda halnya dengan para pedagang, riuh suasana pasar bahkan sudah terdengar saling sahut-menyahut. Membuat siapa pun akan dengan senang hati menutup telinga mereka. Di sudut pasar, seorang penjual bakso bahkan telah bersiap membuka lapak baksonya.

Siapa yang tak kenal dengan “Bakso Mang Tara”? Penduduk desa kecil itu mungkin hampir semuanya telah merasakan kenikmatannya. Lembutnya daging bakso yang digigit dengan tambahan kuah panas yang gurih serta mie bihun dan tahu itu begitu memanjakan lidah. Bakso dengan nama julukan “Bakso Amartya” akan memikat orang-orang yang datang mengunjungi desa kecil dengan sejuta keindahan ini, untuk datang lagi dan lagi hanya untuk semangkuk nikmat dan gurihnya.

Desa ini dikenal dengan wisata alam dan keasrian hutan yang masih terjaga dengan baik. Sungai Abhipraya yang mengelilingi desa terlihat bagai induk ular yang melindungi telur-telurnya. Curug Camani adalah salah satu destinasi paling diminati di desa tersebut. Jika diibaratkan, desa ini seperti mutiara di dalam kerang, indah namun terlindungi dan susah didapatkan.

Keindahan yang berharga terkadang harus dibayar dengan sesuatu yang berharga pula, termasuk desa ini. Desa Timira selain dikenal dengan indahnya alam dan sejuknya udara, menyimpan satu mitos yang cukup membuat siapa saja merasakan kengerian dan ketakutan. Seperti namanya, “Timira” yang memiliki arti gelap dan suram, mitosnya setiap malam yang dihiasi purnama akan ada satu penduduk desa yang tiba-tiba lenyap begitu saja karena cahaya bulan tak dapat menyinari kegelapan malam. Tak pernah diketahui ke mana perginya penduduk tersebut. Desas-desus yang terdengar mengatakan bahwa penduduk-penduduk itu dimakan oleh Badasa.

Badasa adalah penunggu desa yang digambarkan memiliki perawakan tinggi dengan jubah hitam menutup seluruh tubuh. Wajahnya tak pernah terlihat akibat malam yang gelap dan rindang pepohonan. Penduduk desa beranggapan bahwa Badasa akan mengisap jiwa-jiwa orang yang keluar saat malam telah tiba dan menjadikan tubuhnya sebagai santapan yang lezat.

Mitos yang telah melekat pada Desa Timira menarik perhatian salah satu anggota kepolisian kota untuk mengungkap misteri di balik terkenalnya sosok Badasa. Namanya Jagaratra, yang berarti selalu waspada. Tubuhnya kurus dan tinggi. Ia sudah melakukan investigasi di Desa Timira selama satu bulan. Jagaratra menginap di rumah Mang Tara, penjual bakso paling terkenal di pasar.

Selama satu bulan itu, tak satu pun bukti yang ia dapatkan. Padahal, sudah hampir semua penduduk telah ia tanyai. Namun, usahanya terasa sia-sia saja. Seminggu lagi, Jagaratra diharuskan untuk kembali pulang ke kota, sebab tugasnya di kantor kepolisian telah menumpuk dan perlu diselesaikan. Sebenarnya, Jagaratra belum ingin pulang. Ia masih penasaran mengenai siapa sebenarnya sosok Badasa ini.

“Mang, bolehkah saya bertanya tentang sesuatu kepada Mamang?” tanya Jagaratra kepada Mang Tara hati-hati.

“Tentu, akan saya jawab kalau saya bisa, Nak,”  jawab Mang Tara santai tanpa keraguan sambil sesekali menyeruput kopi yang masih mengepulkan uap panas.

“Menurut Mamang, siapa dalang dibalik sosok Badasa? Apakah itu salah satu penduduk desa?” tanya Jagaratra sedikit menuntut, tapi masih sempat mencomot pisang goreng di atas sebuah piring anyaman.

“Hmm, Mamang sebenarnya tidak mau berspekulasi mengenai hal itu, Nak. Tahu sendiri kalau topik tentang Badasa sangat sensitif dan terlarang.” Mata Mang Tara tampak melihat sekilas pada Jagaratra, ada kesenduan di dalamnya.

Sambil terus mengunyah, Jagaratra bertanya kembali, “Mengapa, Mang?”

“Sudah cukup lama Mamang hidup sebatang kara, ya itu karena ulah Badasa, Mamang harus kehilangan anak dan istri,” jawab  Mang Tara dengan kepala tertunduk, kembali mengenang memori masa lalu bersama anak dan istrinya.

“Tapi pasti Mamang tahu sesuatu. Katakanlah, Mang, agar saya dapat mengungkap sosok Badasa. Ini demi anak dan istri Mamang juga,” bujuk Jagaratra kepada Mang Tara.

Mang Tara nampak masih menimbang-nimbang apakah harus memberikan informasi yang ia ketahui atau tidak. “Demi keluarga Mamang, baiklah, tapi tetap apa yang Mamang katakan belum terbukti kebenarannya.”

“Tentu, katakanlah, Mang.”

“Ada satu penduduk di Desa Timira yang telah lama Mamang curigai, sebab beberapa kali melihatnya keluar di malam hari di saat penduduk lain bahkan takut keluar rumah. Orang itu adalah Pak Chandra,” jelas Mang Tara sedikit berbisik di akhir kalimatnya.

“Sepertinya saya tau Pak Chandra ini. Terima kasih atas informasinya, Mang. Saya akan selidiki lebih lanjut,” jawab Jagaratra sedikit menyunggingkan senyum, merasa bahwa ia telah mendapatkan petunjuk penting.

Setelah menyelesaikan perbincangan dengan Mang Tara, Jagaratra mulai mengawasi pergerakan Pak Chandra. Ia berusaha mengikuti ke mana perginya Pak Chandra di malam hari meski pada akhirnya Jagaratra selalu kehilangan jejak. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk mendatangi rumah Pak Chandra pada pagi hari untuk bertanya tentang alasannya pergi setiap malam.

 “Pagi, Pak Chandra. Maaf, tiba-tiba bertamu,” sapa Jagaratra kepada Pak Chandra dengan ramah.

“Pagi, Mas Jaga. Silakan masuk. Maaf kalau rumah saya sedikit berantakan,” jawab Pak Chandra sambil mempersilakan Jagaratra masuk ke rumahnya dan duduk di kursi kayu yang tampak reyot.

“Ada perlu apa ya, Mas Jaga menemui saya?”

“Jika Pak Chandra berkenan, bolehkah saya bertanya mengenai alasan Bapak pergi di saat malam hari?” tanya Jagaratra kepada Pak Chandra hati-hati.

Dari arah dalam rumah, muncul istri Pak Chandra sambil membawakan dua cangkir kopi dan sepiring pisang goreng. “Silakan dinikmati suguhannya, Mas. Maaf kalau hanya itu yang dapat saya dan istri berikan.”

“Tidak apa-apa, Pak, ini sudah lebih dari cukup,” jawab Jagaratra  sambil mencomot pisang goreng di atas sebuah piring anyaman.

“Setiap malam, saya memang selalu menyempatkan pergi ke pasar, Mas Jaga,” jawab Pak Chandra santai tanpa keraguan sambil sesekali menyeruput kopi yang masih mengepulkan uap panas.

“Untuk apa, Pak? Bukankah jika ke pasar pada malam hari berbahaya?” tanya Jagaratra penuh selidik.

“Ada sesuatu yang harus saya kerjakan, Mas,” kata Pak Chandra dengan mata tampak melihat sekilas pada Jagaratra. Ada kilat tak suka di dalamnya.

Sambil terus mengunyah, Jagaratra bertanya kembali, “Pak Chandra tidak takut bertemu Badasa?”

“Buat apa takut dengan Badasa? Menurut saya, Badasa itu harus dihormati. Dia penyeimbang ekosistem, kalau diibaratakan seperti puncak tertinggi rantai makanan. Mas Jaga tau, bumi kita ini semakin berat  sebab banyaknya manusia yang tinggal di atasnya. Kita perlu sosok seperti Badasa untuk mengurangi jumlah manusia yang semakin bertambah.” Mendengar perkataan Pak Chandra, Jagaratra sontak terkejut. Keduanya tak lagi melanjutkan perbincangan yang cukup berat untuk dibahas di pagi hari.

Jagaratra akhirnya memutuskan untuk pamit undur diri sebab perkataan terakhir dari Pak Chandra seolah sangat sulit untuk ia sanggah. Jagaratra hanya tidak menyangka bahwa ada seseorang yang menganggap apa yang dilakukan Badasa itu adalah perbuatan yang perlu untuk dilakukan. Namun, ia juga berpikir alasan yang disebutkan Pak Chandra tadi cukup masuk akal. Tetapi, membunuh manusia tetap menyalahi aturan yang ada.

Hingga tibalah malam terakhir Jagaratra di desa. Ia pergi mengendap-endap dan menembus gelap malam. Tubuhnya yang tinggi tak terlihat lagi. Malam itu purnama bersinar begitu terang, namun terangnya justru membuat Desa Timira lebih mencekam dari malam-malam sebelumnya. Tiba-tiba Pak Chandra yang berada di luar rumah membunyikan kentongan dengan keras, berusaha membangunkan para penduduk. Satu per satu penduduk yang terbangun mendatangi asal suara. Pak Chandra yang telah mendapati banyak penduduk berkumpul segera memberi tahu bahwa ia telah mengetahui siapa itu Badasa.

Mereka akhirnya dapat menangkap sosok yang dianggap Badasa, penunggu desa yang meresahkan mereka. Ramai penduduk desa bersorak-sorak dan membawa obor, menyeret Badasa ke sebuah gubuk kecil yang telah disiapkan jika nantinya mereka dapat menangkapnya. 

Badasa terus meronta sekuat tenaga, suara yang sangat penduduk kenali terdengar berteriak meminta dilepaskan. Namun, penduduk desa justru semakin terbakar api amarah setelah mendengar suara tersebut, suara orang yang telah mereka percayai selama sebulan ini. Suara seorang polisi yang berasal dari kota. Mereka lalu mendorong sosok itu ke dalam gubuk dan menguncinya. Dengan mengelilingi gubuk, penduduk beramai-ramai melemparkan obor yang mereka bawa ke arah gubuk tersebut. Sekejap, api berkobar ganas, melahap gubuk kayu dan sesosok Badasa di dalamnya.

Malam itu, Desa Timira semakin terang. Wajah-wajah berseri dan penuh kepuasan nampak pada setiap penduduk. Mereka berhasil melenyapkan sang malapetaka. Tanpa menyadari, di bawah pohon besar, sosok kurus tinggi dengan jubah hitam, menyeringai. Mata merahnya menatap kobaran api yang membubung tinggi.

“Akulah sang Amartya, abadi sepanjang masa.” Sosok itu berbalik, namun tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.

“Loh, Bu Chandra. Sedang apa di sini? Tidak ikut mengadili Badasa?” tanya salah satu penduduk desa.

“O-oh, ini baru mau ke sana, Pak,” kata Bu Chandra sedikit terbata sambil mengikuti langkah penduduk tersebut menuju tempat dibakarnya Badasa.

~Tamat~

10 komentar:

Contoh Berita Opini. Mengulik Misteri Gedung Kuliah I WS. Rendra, Bikin Merinding Mahasiswa

  Penulis: Annas Tasya Azzahra Ramadhani Edisia Permata Nur Islami (01/11/23) 20.23 WIB Gedung Kuliah 1 WS. Rendra Yogyakarta - Mereka yang ...