Lakon
AH, JAKARTA
Karya Edisia Permata
Diadaptasi dari cerpen karya Ahmad Tohari
BABAK 1
ADEGAN 1
DITEMUKAN MAYAT MENGAPUNG DI KELOKAN KALI SERAYU DI BAWAH JALAN RAYA.
PULUHAN ORANG BERKERUMUN UNTUK MELIHAT DAN TAK SATUPUN YANG MENGENALI MAYAT
TERSEBUT.
ORANG 1 (Kepada Orang 2)
Kasihan sekali mayat ini. Lihat! Wajahnya tak karuan.
ORANG 2
Betul itu, identitas saja tidak punya.
POLISI 1 (Kepada Orang-Orang)
Apakah di antara kalian semua ada yang mengenalinya?
(Sambil Kembali Mengecek Keadaan Mayat)
ORANG 3 (Berteriak)
Tentu saja tidak, Pak. Asing begitu!
(Sambil Menunjuk Mayat Itu)
ORANG 4
Kalaupun ada, mana mau mengaku, Pak. Malu pasti.
TIBA-TIBA DARI KEJAUHAN DATANG SESEORANG DENGAN TERGESA-GESA.
AKU (Kepada Polisi 2)
Maaf, Pak Polisi.
(Sambil Terengah-Engah)
Dia ini mayat karibku.
SEMUA ORANG TERKEJUT MENDENGARNYA.
POLISI 2 (Berhenti Mencatat)
Betul kau mengenalinya?
AKU
Betul, Pak.
POLISI 2
Berarti, kau tau siapa namanya?
AKU (Menyebut Asal Identitas Karibnya)
Ya, tentu saja. Namanya Jack dari Jakarta, Pak. Dia ini seorang calo.
POLISI 2 (Selesai Mencatat)
Baiklah kalau begitu, tugas kami selesai. Kuserahkan mayat ini padamu.
POLISI 1 (Kepada Aku)
Setelah ini, mau kau apakan mayat karibmu?
ORANG-ORANG MENATAP AKU DENGAN KEJI. TAK MENYANGKA ADA YANG MAU MENGAKU
KARIB DARI MAYAT SEORANG GALI.
AKU (Tergagap)
Aku akan menungguinya. Siapa tau ada seseorang yang kukenali lewat,
kumintai bantuan nanti, Pak.
POLISI 1
Baiklah, aku percaya padamu.
(Sambil Menepuk Pundak Aku Dengan Mantap)
POLISI 2 (Berteriak)
Semuanya bubar! Tontonan sudah selesai!
ORANG 5
Selesai begitu saja?
ORANG 6
Ya, begitu saja. Mau bagaimana lagi memangnya?
ORANG 3
Yah, tidak seru sekali.
ORANG 4
Betul, tidak menarik.
POLISI PERGI DENGAN WAJAH PUAS. ORANG-ORANG YANG MENONTON IKUT PERGI.
TINGGALLAH AKU DAN MAYAT KARIBNYA.
AGEGAN 2
AKU BERDIRI DI SAMPING MAYAT KARIBNYA DENGAN BINGUNG. MENOLEH KE KANAN
DAN KIRI UNTUK MENCARI BANTUAN.
AKU (Celingukan)
Ah, Jakarta. Mau aku apakan mayatmu ini? Kenapa dirimu sangat gegabah
dalam bertindak, tidak kau pikirkan dahulu akibatnya. Ckck, sekarang kau sudah
jadi mayat. Untung saja aku masih mengenali dirimu lewat cawat cassanova yang
kau pakai. Dengan begini, kau justru menyusahkanku, bagaimana aku memandikan
mayatmu ini?
(Melihat Dua Orang Anak Pencari Rumput)
Hei, kalian berdua! Ke sini! Bantu aku kuburkan mayat karibku! Eh-eh,
mau ke mana kalian? Jangan kabur dulu! Dasar orang, disuruh membantu orang
kesusahan tidak mau, coba saja kalau di kasih uang, wah pasti langsung
berbondong-bondong datang.
(Berdiri Bingung Tak Tau Berbuat Apa)
Uh, atau dengan itu saja ya?
(Sambil Berjalan Untuk Mengambil Sebuah Tempurung)
AKU (Mulai Menyirami Mayat Karibnya)
Ah, Jakarta! Tak kan aku lupakan kata itu. Kau selalu menyebutnya
beberapa kali. Hush! Hush! Dasar lalat-lalat pengganggu, pergi kalian!
(Sambil Menggali Pasir Membujur Ke Utara, Aku Melantunkan Tembang)
Kanggo pemut, tansah sabar uga syukur
Gumantung kahanan
Narima sabar yen sedhih
Tampa kanugrahaning Gusti, syukura
Kang kasuwun, sabar yen kena pakewuh
Gumanti bakalnya
Narpa putra matswapati
Tansah sae prasangka mring Gusti Allah
Kang banjure, gedhekna rasa syukurmu
Gulangen kaya nyatra
Narpada ing butuh yekti
Tata tentrem ati lamun keh dedana
(Memasukkan Mayat Karibnya Ke Dalam Lubang Pasir Sedalam Lutut)
Meskipun kau mati dengan cara seperti ini, aku tetap sembahyang untuk
mayatmu. Semoga saja kau tenang di sana. Tak lagi menanggung beban kehidupan.
(Lalu Aku Sembahyang Untuk Mayat Karibnya)
AKU
Tak kusangka waktuku denganmu sesingkat ini. Padahal baru saja aku bisa
mengobrol lagi denganmu setelah sekian lama berpisah. Kini sang maut yang
memisahkan, biarlah nanti kita bertemu lagi di lain kesempatan di alam
selanjutnya.
(Memiringkan Mayat, Menutupkan Daun-Daun Jati, Menimbunkan Pasir, Dan
Membuat Nisan Dari Sebuah Batu Besar)
Selamat tinggal karibku, semoga kau bahagia dengan pilihanmu itu.
AKU LALU MENINGGALKAN TEPIAN KALI SERAYU. BANYAK ORANG MENONTON,
TERMASUK DUA ANAK PENCARI RUMPUT. MEREKA MELIHAT DENGAN HERAN. AH, JAKARTA.
KATA-KATA ITU MENAMPAKKAN SISI COMPANG-CAMPING DAN BELEPOTAN. SEBENTAR LAGI
KALI SERAYU AKAN BANJIR. KUBURNYA AKAN TERSAPU AIR BAH. BELULANGNYA AKAN JADI ANTAH BERANTAH.
LAMPU BLACKOUT
ADEGAN 3
FLASHBACK KE KEJADIAN SEBELUMNYA. PADA SUATU MALAM YANG KELAM, DIA
DATANG DENGAN TERPINCANG-PINCANG. LIMA JARI KAKI KANANNYA TERLUKA DENGAN PERBAN
YANG TELAH KUMAL. SUDAH TIGA TAHUN LEBIH TAK ADA KABAR DARINYA. WAJAHNYA YANG
GELAP KINI PENUH AKAN TANDA TANYA .
AKU (Terkejut)
Astaga! Sudah lama aku tak melihat dirimu.
(Sambil Memapahnya Masuk Ke Rumah)
Bagaimana kabarmu kini?
(Sambil Mengganti Perban Karibnya)
DIA (Acuh)
Mending kau ambilkan aku koran kemarin, atau hari ini! Aku butuh
membacanya.
AKU
Untuk apa semua itu?
DIA (Membentak)
Nanti kuberitau, ambilkan saja!
AKU
Tidak, sebelum kau menceritakan semuanya. Ingat kau di mana sekarang,
rumahku, maka ikuti aturanku. Kau masih karibku bukan?
DIA (Sambil Mengibaskan Tangan)
Baiklah, baiklah.
(Matanya Menatapku. Lalu Menunduk)
Aku ini bekas sopir. Sedan yang kusewa bersama ketiga temanku menabrak
tiang listrik di Jalan Matraman.
AKU
Lalu, ke mana tiga lainnya? Kau hanya datang sendiri.
DIA
Tak bangun. Mungkin mati.
(Berkata Tanpa Rasa Bersalah)
AKU
Tunggu, seperti ada yang tidak beres dengan ceritamu. Untuk apa kau
melarikan diri sampai kepayahan seperti ini? Sudah, jujur saja. Bukankah kita
sudah lama saling mengenal? Masak kau tak mempercayaiku.
DIA (Mendengus)
Ternyata kau masih sama seperti dulu, tidak bisa dibohongi.
(Terdiam Cukup Lama)
Kami baru berangkat operasi. Ada golok, gunting kawat, dan clurit dalam
mobil itu. Habis aku kalau tertangkap.
AKU (Menganggukan Kepala)
Kau sekarang seperti itu. Mengapa?
DIA
Ah, Jakarta. Jangan terlalu dipikirkan kawan. Mending kau beri aku
koran kemarin saja.
(Menatap Dengan Datar)
AKU
Baiklah.
(Mengambil Koran)
Ini ambillah!
DIA (Membolak-Balikkan Halaman Koran)
Ah, tidak ada.
(Mengambil Koran Lain)
Nah, ketemu. Tuh, baca sendiri!
(Melempar Koran Ke Meja)
AKU (Membaca Koran Dengan Serius)
Berita tentangmu bahkan termuat di koran. Seperti artis saja dirimu
ini. Memang tak ada pilihan lain? Jadi buronan kau sekarang.
DIA
Ah, Jakarta. Biarkan saja, sudah nasibku seperti ini.
(Sambil Menyenderkan Punggungnya Ke Kursi)
AKU (Menghela Napas)
Kau taukan, berat menerima buronan seperti kau ini. Kalau orang lain
yang kau datangi, pasti sudah diusir dirimu. Untung kau mendatangi aku, karibmu
dulu.
DIA (Kembali Menegakkan Punggung)
Hmm..tak takut dirimu menerima buronan sepertiku ini? Siapa tau kau
terpaksa kan dan diam-diam melaporkanku pada polisi. Ah, atau mungkin ke ketua
RT?
(Lalu Menatap Aku Curiga)
Kalau kau terpaksa bilang saja, aku tak mau membuatmu susah.
AKU
Mana ada aku terpaksa. Tenang, kau sama sekali tak menyusahkanku. Asal
tak ada yang tau saja, aman dirimu di sini. Lagipula, kedatanganmu mengingatkan
diriku akan masa kecil kita dulu.
(Menerawang Jauh)
Ingatkah dirimu? Di pematang sawah, berlarian sambil telanjang bulat.
Atau saat kita berdua semangat mencari telur burung hanyaman, membalutnya
dengan lepung dan membakarnya. Ah, bahkan aku masih ingat rasanya sampai
sekarang.
DIA (Sambil Tertawa Hambar)
Kita berdua nakal sekali ternyata dulu.
AKU
Bisa tertawa juga dirimu ini. Ingat tidak waktu kita berdua menyelam di
lubuk mencari udang batu? Membakarnya dalam pasir panas sampai warnanya merah.
Uh, enak, gurih dan manis menjadi satu.
DIA (Ikut Menerawang Jauh)
Kalau ingat masa itu, rasanya aku ingin sekali mengulangnya. Kita masih
dua bocah cilik tanpa dosa, tanpa menanggung beban hidup.
(Setetes Air Mata Jatuh Dari Matanya)
AKU (Ikut Menyendu)
Aku paling suka saat kita bermain rebut pati. Mencari belut sambil adu
ketangkasan. Menyebalkan sekali aku selalu kalah darimu, kau dulu kuat sekali.
DIA (Terkekeh)
Tentu saja aku kuat, lagipun, kau ini kurus kerempeng.
AKU (Tertawa)
Daripada dirimu, masih kecil sudah berotot. Macam siapa itu? Ah, Ade
Rai!
(Tertawa Terbahak-Bahak)
DIA
Kurang ajar dirimu ini! Mana ada aku seperti Ade Rai, tampan begini.
(Memegang Wajah Dengan Tangan)
AKU (Kepada Dia)
Sebenarnya, kau menang bukan karena kuat kan? Tau aku ini. Kau gigit
belut itu pakai mulutmu biar aku tak bisa mengambilnya, licik sekali dirimu.
(Melotot Main-Main Ke Arahnya)
DIA (Merasa Bangga)
Baru sadar kau?
AKU (Masam Mukanya)
Sudah sadar dari lama, hanya saja aku malas mendebatmu. Oh hampir lupa
aku, kau bisa mandi di sini, menginaplah di rumahku untuk sementara waktu!
DIA
Ah, Jakarta. Kita lihat saja nanti.
ADEGAN 4
DARI DALAM RUMAH, KELUAR ISTRI AKU MEMBAWAKAN KOPI DAN PISANG REBUS
AMBON NANGKA. DIA LALU MAKAN DENGAN LAHAPNYA.
AKU (Menatap Dia Makan)
Aku masih bersyukur, kau tak mati seperti ketiga temanmu.
DIA (Masih Fokus Makan)
Sudah mati, ya mati sajalah. Palingan diriku nanti teringat yang masih
hidup.
AKU
Siapa? Anak dan Istrimu?
DIA
Bukan, bukan mereka. Istriku, dia sudah kembali ke rumah orang tuanya.
AKU
Cerai kau?
DIA
Ya, begitulah.
AKU
Lalu, anakmu?
DIA
Mereka ikut dengan ibunya. Tak perlu lagi ku khawatirkan, aman mereka
di sana. Aku justru lebih menghawatirkan si Jabri.
(Wajahnya Langsung Muram)
AKU
Siapa lagi si Jabri ini?
DIA
Dia ini temanku yang baik. Sering kusewa mobilnya, maksudku mobil
majikannya. Kasihan dia harus ganti rugi.
(Wajahnya Tampak Sedih)
ADEGAN 5
MALAM SEMAKIN LARUT. PERCAKAPAN MULAI MENGALIR DENGAN LANCAR. DIA YANG
MULANYA MASIH HATI-HATI MENCERITAKAN KEHIDUPANNYA DI JAKARTA AKHIRNYA MEMBUAT
PENGAKUAN-PENGAKUAN MENGEJUTKAN YANG MUNGKIN SANGAT DISUKAI PIHAK KEPOLISIAN.
DIA
Aku memiliki sebuah kelompok. Hari itu, kami mulai beroperasi dengan
mengintai toko elektronik. Setiap ada orang yang membeli TV warna atau video,
salah satu dari kami bertugas mengikutinya sampai rumah. Dia harus melihat
apakah orang yang diikuti itu memiliki anjing atau tidak. Kau tau? Anjing lebih
sulit dijinakkan daripada hansip. Setelah berhari-hari pengintaian, kami akan
merampok rumah tersebut. Tidak perlu menunggu malam hari untuk memulai aksi
selagi pintu halaman gampang diterobos dengan gunting kawat. Kelompok kami
bahkan sudah menguasai ilmu mencongkel pintu rumah utama yang berdaun tunggal
atau rangkap.
AKU (Dengan Penasaran)
Wuih, ahli juga kau dan kelompokmu itu. Lalu, dengan apa kau biasanya
menerobos masuk? Apakah ada alat khususnya?
DIA (Semangat Bercerita)
Tak ada alat khusus, paling hanya pakai jepit kuku buatan Taiwan.
(Sambil Mempraktikkan Mendobrak Jendela Nako Rumah Aku)
AKU (Terkejut)
Waduh, jangan kau peragakan pada jendelaku juga, sudah tau rumahku ini
reyot. Pasti mudah sekali kau terobos.
DIA (Tampak Tenang Dan Luwes)
Santai, nanti kuperbaiki lagi seperti semula. Lihatlah! Setelah salah
satu daun kacanya berhasil tercongkel dari luar, kisi-kisi harus ditekan ke
dalam dengan dorongan kaki. Kau tau tidak gunanya untuk apa?
AKU
Pakai tanya lagi? Aku ini bukan dirimu, seorang perampok ahli.
(Sambil Merangkul Sang Karib)
DIA (Mendengus Geli)
Gunanya agar kisinya tidak melenting, jadi kedua ujungnya harus
dipegang. Kalau kisinya sudah jebol, selesai sudah. Rumah sekokoh apapun
gampang diterobos. Tapi, kami juga pilih-pilih mencari korban. Harus yang
benar-benar kaya.
AKU
Memang kenapa harus yang benar-benar kaya?
DIA
Ya, karena kebanyakan orang kaya tidak banyak berulah kalau
barang-barangnya dicuri. Toh, nanti mereka bisa beli lagi, uangnya tak bakal
habis.
AKU (Manggut-Manggut)
Betul juga. Lalu? Lanjutkan lagi ceritamu, aku masih ingin mendengar.
DIA (Kembali Duduk)
Pernah waktu itu, kami merampok rumah orang kaya di daerah Kebayoran.
Tiba-tiba ditodong pistol oleh tuan rumah, ternyata terbangun dia saat
mendengar kami mencongkel jendela. Keruh sekali suasana saat itu, dia dan kami
bahkan telah siap berkelahi. Untung saja tuan rumah memberikan penawaran yang
menarik.
AKU
Apa itu?
DIA
Dia menawarkan barang-barangnya asalkan kami tidak membuat keributan.
Kau tau kenapa dia seperti itu? Ternyata dia ini seorang pejabat. Di rumah itu
dia sedang ngadon dengan istri muda. Daripada masuk koran kan, makanya dia
ambil jalan tengah yang menguntungkan kedua belah pihak.
AKU (Menggelengkan Kepala)
Ada-ada saja ulah orang-orang kaya itu.
DIA
Yah, Jakarta!
(Sambil Tertawa Renyah)
ADEGAN 6
PADA TENGAH MALAM, DIA TELAH TERTIDUR DENGAN NYENYAK DI DALAM KAMAR
YANG TELAH DISEDIAKAN OLEH AKU. LALU, ISTRI AKU DATANG UNTUK BERTANYA SUATU
HAL.
ISTRI (Berbisik Ke Aku)
Siapa dia?
AKU
Dia anak sini asli, teman sepermainanku dulu.
ISTRI (Masih Berbisik)
Ceritanya mengesankan. Gali ya?
AKU
Ya, begitulah. Seperti yang telah kamu dengar.
ISTRI
Nah, awas kamu. Aku tidak ingin ada bangkai manusia yang pernah
menginap di rumah ini. Kau tahu orang-orang macam dia yang kini mayatnya
tercampak di mana-mana kan?
AKU (Menutup Mata Dengan Bantal)
Hmm..
ISTRI (Menyerocos)
Ham hem ham hem. Sudah tau dia itu gali, masih saja kau bolehkan
tinggal. Apa kata tetangga kalau mereka tau? Malu aku ini. Belum lagi jika ada
yang melapor, kau bisa kena juga nanti. Ikut ditangkap sebab menyembunyikan
seorang buronan.
AKU
Tidak akan aku ditangkap.
ISTRI
Tidak akan kamu bilang? Alah, omong kosong saja. Apa kamu bisa menjamin
kalau di sudah insyaf. Bagaimana jika dia hanya berpura-pura agar kau kasihan.
Lalu, boom, ternyata dia hanya mau merampokmu saja.
AKU (Menyorot Tak Suka Ke Istri)
Mana ada dia seperti itu. Aku telah mengetahui tabiatnya.
ISTRI
Dia ini sudah beda. Telah bertahun-tahun kamu baru bertemu dengannya
lagi, mana tau kalau dia sudah tercemar perilaku buruk selama di Jakarta. Dia
sendiri saja tidak merasa bersalah meninggalkan ketiga temannya sekarat. Begitu
bangganya dirinya jadi perampok. Kamu ini terlalu baik, di tentu telah tau sifatmu itu. Bisa jadi dia
memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.
AKU
Sudah, mengomel terus dirimu ini. Tidur saja, tidak lelah kau begitu?
(Mulai Mencari Posisi Nyaman Untuk Tidur)
ISTRI
Huh, dasar bebal!
(Ikut Mencari Posisi Nyaman Untuk Tidur)
PAGI HARINYA SETELAH SUBUH, DIA SUDAH LENYAP ENTAH KE MANA. HANYA ADA
TULISAN DI ATAS BEKAS BUNGKUS ROKOK YANG DIA TINGGALKAN.
AKU (Membaca Tulisan Itu)
Terima kasih. Aku segera pergi supaya tidak merepotkan dirimu.
(Menghela Napas Lelah)
Mau pergi ke mana dirimu itu? Kenapa tak kau terima saja bantuan dari
karibmu ini? Huh, aku hanya tak ingin nantinya mendengar kabarmu yang mati
sia-sia seperti berita para gali yang sudah-sudah.
SELESAI
Keterangan dari tembang berbahasa Jawa:
Kanggo pemut, tansah sabar uga syukur
Untuk diingat agar selalu bersabar juga bersyukur
Gumantung kahanan
Dalam setiap keadaan
Narima sabar yen sedhih
Bersabarlah dalam setiap kesedihan
Tampa kanugrahaning Gusti, syukura
Ketika mendapat anugerah Allah, bersyukurlah
Kang kasuwun, sabar yen kena pakewuh
Yang diminta, bersabarlah ketika mendapatkan musibah
Gumanti bakalnya
Suatu saat pasti akan berganti
Narpa putra matswapati
Putra raja Matswapati
Tansah sae prasangka mring Gusti Allah
Selalu berprasangka baik kepada Allah
Kang banjure, gedhekna rasa syukurmu
Selanjutnya, perbanyaklah rasa syukurmu
Gulangen kaya nyatra
Latihlah dengan sungguh-sungguh
Narpada ing butuh yekti
Sungai di butuh (bedana)
Tata tentrem ati lamun keh dedana
Rasa tenteram di hati jika kamu banyak berderma
Edisia Permata
Yogyakarta, 29 April 2023