Jumat, 29 September 2023

Contoh Teks Deskripsi Objektif

 


Lautan Hijau

            Sebuah panggung tepat berada di depan area konser. Panggung indoor yang sangat besar dengan bentuk seperti huruf T. Namun, di ujung bawah huruf T terdapat spot lagi berbentuk persegi panjang. Panggung ini mempunyai tiga layar besar. Satu layar utama dan paling besar terletak di tengah panggung dan menampilkan background sebuah bangunan. Sedangkan, dua layar yang lebih kecil tepat berada di samping kanan dan kiri layar utama. Kedua layar kecil tersebut sedang menampilkan salah satu member boyband asal Korea Selatan, yaitu NCT 127 dengan pakaian jas formal berwarna putih.

            Di panggung berbentuk huruf T tersebut terdapat enam member memakai pakaian jas formal berwarna putih sedang melakukan gerakan dance. Posisi ke enam member tersebut berdiri berjajar vertikal di atas panggung huruf T. Tepatnya di bagian garis vertikal huruf T tersebut. Di sebelah depan kanan dan kiri panggung terdapat 12 lampu sorot berwarna hijau dengan bentuk persegi panjang. Dengan enam lampu sorot di sebelah kanan dan enam lampu sorot di sebelah kiri. Di antara lampu sorot tersebut terdapat confetti kembang api berwarna emas, enam di sebelah kanan dan enam di sebelah kiri. Selain lampu sorot dan confetti yang terdapat di depan panggung, terdapat banyak lampu sorot berwarna hijau di atas panggung yang langsung menyorot ke arah para member dan penonton.

            Selain itu, lautan cahaya hijau memenuhi seisi ruangan konser tersebut. Memenuhi depan panggung dan seluruh area konser serta tidak ada tempat kosong sama sekali kecuali panggung itu sendiri. Lautan cahaya hijau tersebut sebenarnya adalah penonton konser yang dinamai dengan sijeuni, nama untuk para fans NCT (neo cuture technology) yang sedang membawa lightstick NCT berwarna hijau . Mereka tidak tampak karena ruangan konser yang gelap dan lightstick tersebutlah yang membuat area konser dipenuhi dengan lautan warna hijau. Lautan hijau membuat suasana area konser menjadi bahagia, haru, dan sebuah kenangan yang tidak akan terlupakan.


Senin, 25 September 2023

Puisi "Tuhan, Aku Lemah"

 

Sumber: Pinterest

Tuhan, Aku Lemah

Edisia Permata

 

Maaf, aku lemah, wahai penolongku.

Jari-jemari ini mulai kaku. Mati rasa.

Kaki-kaki letih. Berjalan tanpa arah.

Awan hitam menggumpal dalam kepala.

Petir menyambar sendi, menggetarkan tulang.

Hati mulai ditinggali laba-laba. Bersarang, menetap.

Kekosongan menyerang tanpa aba-aba.

Tubuh bagai hutan gersang. Pepohonan tanpa dedaunan.

Aku lelah menunggu keretamu datang.

Sekarang, jemput saja aku. Tarik aku ke atas, bersamamu.

Hidup begitu sesak. Kuingin peluk darimu.

Bolehkah?


Cerpen ACALAPATI

 

Sumber: Pinterest


ACALAPATI

Edisia Permata

 

Pukul enam pagi.

Dingin udara hampir membuat sebagian penduduk malas untuk keluar rumah dan melakukan aktivitas hari itu. Cahaya matahari seolah enggan bersolek dan menghantarkan kehangatan.

Berbeda halnya dengan para pedagang, riuh suasana pasar bahkan sudah terdengar saling sahut-menyahut. Membuat siapa pun akan dengan senang hati menutup telinga mereka. Di sudut pasar, seorang penjual bakso bahkan telah bersiap membuka lapak baksonya.

Siapa yang tak kenal dengan “Bakso Mang Tara”? Penduduk desa kecil itu mungkin hampir semuanya telah merasakan kenikmatannya. Lembutnya daging bakso yang digigit dengan tambahan kuah panas yang gurih serta mie bihun dan tahu itu begitu memanjakan lidah. Bakso dengan nama julukan “Bakso Amartya” akan memikat orang-orang yang datang mengunjungi desa kecil dengan sejuta keindahan ini, untuk datang lagi dan lagi hanya untuk semangkuk nikmat dan gurihnya.

Desa ini dikenal dengan wisata alam dan keasrian hutan yang masih terjaga dengan baik. Sungai Abhipraya yang mengelilingi desa terlihat bagai induk ular yang melindungi telur-telurnya. Curug Camani adalah salah satu destinasi paling diminati di desa tersebut. Jika diibaratkan, desa ini seperti mutiara di dalam kerang, indah namun terlindungi dan susah didapatkan.

Keindahan yang berharga terkadang harus dibayar dengan sesuatu yang berharga pula, termasuk desa ini. Desa Timira selain dikenal dengan indahnya alam dan sejuknya udara, menyimpan satu mitos yang cukup membuat siapa saja merasakan kengerian dan ketakutan. Seperti namanya, “Timira” yang memiliki arti gelap dan suram, mitosnya setiap malam yang dihiasi purnama akan ada satu penduduk desa yang tiba-tiba lenyap begitu saja karena cahaya bulan tak dapat menyinari kegelapan malam. Tak pernah diketahui ke mana perginya penduduk tersebut. Desas-desus yang terdengar mengatakan bahwa penduduk-penduduk itu dimakan oleh Badasa.

Badasa adalah penunggu desa yang digambarkan memiliki perawakan tinggi dengan jubah hitam menutup seluruh tubuh. Wajahnya tak pernah terlihat akibat malam yang gelap dan rindang pepohonan. Penduduk desa beranggapan bahwa Badasa akan mengisap jiwa-jiwa orang yang keluar saat malam telah tiba dan menjadikan tubuhnya sebagai santapan yang lezat.

Mitos yang telah melekat pada Desa Timira menarik perhatian salah satu anggota kepolisian kota untuk mengungkap misteri di balik terkenalnya sosok Badasa. Namanya Jagaratra, yang berarti selalu waspada. Tubuhnya kurus dan tinggi. Ia sudah melakukan investigasi di Desa Timira selama satu bulan. Jagaratra menginap di rumah Mang Tara, penjual bakso paling terkenal di pasar.

Selama satu bulan itu, tak satu pun bukti yang ia dapatkan. Padahal, sudah hampir semua penduduk telah ia tanyai. Namun, usahanya terasa sia-sia saja. Seminggu lagi, Jagaratra diharuskan untuk kembali pulang ke kota, sebab tugasnya di kantor kepolisian telah menumpuk dan perlu diselesaikan. Sebenarnya, Jagaratra belum ingin pulang. Ia masih penasaran mengenai siapa sebenarnya sosok Badasa ini.

“Mang, bolehkah saya bertanya tentang sesuatu kepada Mamang?” tanya Jagaratra kepada Mang Tara hati-hati.

“Tentu, akan saya jawab kalau saya bisa, Nak,”  jawab Mang Tara santai tanpa keraguan sambil sesekali menyeruput kopi yang masih mengepulkan uap panas.

“Menurut Mamang, siapa dalang dibalik sosok Badasa? Apakah itu salah satu penduduk desa?” tanya Jagaratra sedikit menuntut, tapi masih sempat mencomot pisang goreng di atas sebuah piring anyaman.

“Hmm, Mamang sebenarnya tidak mau berspekulasi mengenai hal itu, Nak. Tahu sendiri kalau topik tentang Badasa sangat sensitif dan terlarang.” Mata Mang Tara tampak melihat sekilas pada Jagaratra, ada kesenduan di dalamnya.

Sambil terus mengunyah, Jagaratra bertanya kembali, “Mengapa, Mang?”

“Sudah cukup lama Mamang hidup sebatang kara, ya itu karena ulah Badasa, Mamang harus kehilangan anak dan istri,” jawab  Mang Tara dengan kepala tertunduk, kembali mengenang memori masa lalu bersama anak dan istrinya.

“Tapi pasti Mamang tahu sesuatu. Katakanlah, Mang, agar saya dapat mengungkap sosok Badasa. Ini demi anak dan istri Mamang juga,” bujuk Jagaratra kepada Mang Tara.

Mang Tara nampak masih menimbang-nimbang apakah harus memberikan informasi yang ia ketahui atau tidak. “Demi keluarga Mamang, baiklah, tapi tetap apa yang Mamang katakan belum terbukti kebenarannya.”

“Tentu, katakanlah, Mang.”

“Ada satu penduduk di Desa Timira yang telah lama Mamang curigai, sebab beberapa kali melihatnya keluar di malam hari di saat penduduk lain bahkan takut keluar rumah. Orang itu adalah Pak Chandra,” jelas Mang Tara sedikit berbisik di akhir kalimatnya.

“Sepertinya saya tau Pak Chandra ini. Terima kasih atas informasinya, Mang. Saya akan selidiki lebih lanjut,” jawab Jagaratra sedikit menyunggingkan senyum, merasa bahwa ia telah mendapatkan petunjuk penting.

Setelah menyelesaikan perbincangan dengan Mang Tara, Jagaratra mulai mengawasi pergerakan Pak Chandra. Ia berusaha mengikuti ke mana perginya Pak Chandra di malam hari meski pada akhirnya Jagaratra selalu kehilangan jejak. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk mendatangi rumah Pak Chandra pada pagi hari untuk bertanya tentang alasannya pergi setiap malam.

 “Pagi, Pak Chandra. Maaf, tiba-tiba bertamu,” sapa Jagaratra kepada Pak Chandra dengan ramah.

“Pagi, Mas Jaga. Silakan masuk. Maaf kalau rumah saya sedikit berantakan,” jawab Pak Chandra sambil mempersilakan Jagaratra masuk ke rumahnya dan duduk di kursi kayu yang tampak reyot.

“Ada perlu apa ya, Mas Jaga menemui saya?”

“Jika Pak Chandra berkenan, bolehkah saya bertanya mengenai alasan Bapak pergi di saat malam hari?” tanya Jagaratra kepada Pak Chandra hati-hati.

Dari arah dalam rumah, muncul istri Pak Chandra sambil membawakan dua cangkir kopi dan sepiring pisang goreng. “Silakan dinikmati suguhannya, Mas. Maaf kalau hanya itu yang dapat saya dan istri berikan.”

“Tidak apa-apa, Pak, ini sudah lebih dari cukup,” jawab Jagaratra  sambil mencomot pisang goreng di atas sebuah piring anyaman.

“Setiap malam, saya memang selalu menyempatkan pergi ke pasar, Mas Jaga,” jawab Pak Chandra santai tanpa keraguan sambil sesekali menyeruput kopi yang masih mengepulkan uap panas.

“Untuk apa, Pak? Bukankah jika ke pasar pada malam hari berbahaya?” tanya Jagaratra penuh selidik.

“Ada sesuatu yang harus saya kerjakan, Mas,” kata Pak Chandra dengan mata tampak melihat sekilas pada Jagaratra. Ada kilat tak suka di dalamnya.

Sambil terus mengunyah, Jagaratra bertanya kembali, “Pak Chandra tidak takut bertemu Badasa?”

“Buat apa takut dengan Badasa? Menurut saya, Badasa itu harus dihormati. Dia penyeimbang ekosistem, kalau diibaratakan seperti puncak tertinggi rantai makanan. Mas Jaga tau, bumi kita ini semakin berat  sebab banyaknya manusia yang tinggal di atasnya. Kita perlu sosok seperti Badasa untuk mengurangi jumlah manusia yang semakin bertambah.” Mendengar perkataan Pak Chandra, Jagaratra sontak terkejut. Keduanya tak lagi melanjutkan perbincangan yang cukup berat untuk dibahas di pagi hari.

Jagaratra akhirnya memutuskan untuk pamit undur diri sebab perkataan terakhir dari Pak Chandra seolah sangat sulit untuk ia sanggah. Jagaratra hanya tidak menyangka bahwa ada seseorang yang menganggap apa yang dilakukan Badasa itu adalah perbuatan yang perlu untuk dilakukan. Namun, ia juga berpikir alasan yang disebutkan Pak Chandra tadi cukup masuk akal. Tetapi, membunuh manusia tetap menyalahi aturan yang ada.

Hingga tibalah malam terakhir Jagaratra di desa. Ia pergi mengendap-endap dan menembus gelap malam. Tubuhnya yang tinggi tak terlihat lagi. Malam itu purnama bersinar begitu terang, namun terangnya justru membuat Desa Timira lebih mencekam dari malam-malam sebelumnya. Tiba-tiba Pak Chandra yang berada di luar rumah membunyikan kentongan dengan keras, berusaha membangunkan para penduduk. Satu per satu penduduk yang terbangun mendatangi asal suara. Pak Chandra yang telah mendapati banyak penduduk berkumpul segera memberi tahu bahwa ia telah mengetahui siapa itu Badasa.

Mereka akhirnya dapat menangkap sosok yang dianggap Badasa, penunggu desa yang meresahkan mereka. Ramai penduduk desa bersorak-sorak dan membawa obor, menyeret Badasa ke sebuah gubuk kecil yang telah disiapkan jika nantinya mereka dapat menangkapnya. 

Badasa terus meronta sekuat tenaga, suara yang sangat penduduk kenali terdengar berteriak meminta dilepaskan. Namun, penduduk desa justru semakin terbakar api amarah setelah mendengar suara tersebut, suara orang yang telah mereka percayai selama sebulan ini. Suara seorang polisi yang berasal dari kota. Mereka lalu mendorong sosok itu ke dalam gubuk dan menguncinya. Dengan mengelilingi gubuk, penduduk beramai-ramai melemparkan obor yang mereka bawa ke arah gubuk tersebut. Sekejap, api berkobar ganas, melahap gubuk kayu dan sesosok Badasa di dalamnya.

Malam itu, Desa Timira semakin terang. Wajah-wajah berseri dan penuh kepuasan nampak pada setiap penduduk. Mereka berhasil melenyapkan sang malapetaka. Tanpa menyadari, di bawah pohon besar, sosok kurus tinggi dengan jubah hitam, menyeringai. Mata merahnya menatap kobaran api yang membubung tinggi.

“Akulah sang Amartya, abadi sepanjang masa.” Sosok itu berbalik, namun tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.

“Loh, Bu Chandra. Sedang apa di sini? Tidak ikut mengadili Badasa?” tanya salah satu penduduk desa.

“O-oh, ini baru mau ke sana, Pak,” kata Bu Chandra sedikit terbata sambil mengikuti langkah penduduk tersebut menuju tempat dibakarnya Badasa.

~Tamat~

Rabu, 13 September 2023

Puisi Kopi Susu


Kopi Susu

Edisia Permata

Sumber: Pinterest

Mata-mata mereka mengawasi, setiap detik langkah.

Kurangkai angan-angan. Kaca mata terlepas, tak dapat kugenggam.

Mulut berbicara pada gesitnya rasa. Terbungkam semua gelisah hatiku.

Kalimat ini harus kugantungkan. Terbelit tak terucapkan.

Tak peduli rasa yang mereka beri, menusuk diri ini tepat di ulu hati.

Merobek dinding-dinding kokoh dari intan, memecahnya berkeping-keping.

Membiarkan asap terus menyebar. Hitam sudah semua putih.

Diri ini terbelenggu rasa egois. Terpasung duri keindahan.

Melebur menjadi satu, pahitnya kopi dan manisnya gula.

Tak kusukai keduanya, izinkan aku menambahkan susu.

Naskah Drama Ah, Jakarta! (Diadaptasi dari Cerpen Karya Ahmad Tohari)

Lakon

AH, JAKARTA

Karya Edisia Permata

Diadaptasi dari cerpen karya Ahmad Tohari

 

 

BABAK 1

 

ADEGAN 1

DITEMUKAN MAYAT MENGAPUNG DI KELOKAN KALI SERAYU DI BAWAH JALAN RAYA. PULUHAN ORANG BERKERUMUN UNTUK MELIHAT DAN TAK SATUPUN YANG MENGENALI MAYAT TERSEBUT.

 

ORANG 1 (Kepada Orang 2)

Kasihan sekali mayat ini. Lihat! Wajahnya tak karuan.

 

ORANG 2

Betul itu, identitas saja tidak punya.

 

POLISI 1 (Kepada Orang-Orang)

Apakah di antara kalian semua ada yang mengenalinya?

 

(Sambil Kembali Mengecek Keadaan Mayat)

 

ORANG 3 (Berteriak)

Tentu saja tidak, Pak. Asing begitu!

 

(Sambil Menunjuk Mayat Itu)

 

ORANG 4

Kalaupun ada, mana mau mengaku, Pak. Malu pasti.

 

TIBA-TIBA DARI KEJAUHAN DATANG SESEORANG DENGAN TERGESA-GESA.

 

AKU (Kepada Polisi 2)

Maaf, Pak Polisi.

 

(Sambil Terengah-Engah)

 

Dia ini mayat karibku.

 

SEMUA ORANG TERKEJUT MENDENGARNYA.

 

POLISI 2 (Berhenti Mencatat)

Betul kau mengenalinya?

 

AKU

Betul, Pak.

 

POLISI 2

Berarti, kau tau siapa namanya?

 

AKU (Menyebut Asal Identitas Karibnya)

Ya, tentu saja. Namanya Jack dari Jakarta, Pak. Dia ini seorang calo.

 

POLISI 2 (Selesai Mencatat)

Baiklah kalau begitu, tugas kami selesai. Kuserahkan mayat ini padamu.

 

POLISI 1 (Kepada Aku)

Setelah ini, mau kau apakan mayat karibmu?

 

ORANG-ORANG MENATAP AKU DENGAN KEJI. TAK MENYANGKA ADA YANG MAU MENGAKU KARIB DARI MAYAT SEORANG GALI.

 

AKU (Tergagap)

Aku akan menungguinya. Siapa tau ada seseorang yang kukenali lewat, kumintai bantuan nanti, Pak.

 

POLISI 1

Baiklah, aku percaya padamu.

 

(Sambil Menepuk Pundak Aku Dengan Mantap)

 

POLISI 2 (Berteriak)

Semuanya bubar! Tontonan sudah selesai!

 

ORANG 5

Selesai begitu saja?

 

ORANG 6

Ya, begitu saja. Mau bagaimana lagi memangnya?

 

ORANG 3

Yah, tidak seru sekali.

 

ORANG 4

Betul, tidak menarik.

 

POLISI PERGI DENGAN WAJAH PUAS. ORANG-ORANG YANG MENONTON IKUT PERGI. TINGGALLAH AKU DAN MAYAT KARIBNYA.

 

AGEGAN 2

AKU BERDIRI DI SAMPING MAYAT KARIBNYA DENGAN BINGUNG. MENOLEH KE KANAN DAN KIRI UNTUK MENCARI BANTUAN.

 

AKU (Celingukan)

Ah, Jakarta. Mau aku apakan mayatmu ini? Kenapa dirimu sangat gegabah dalam bertindak, tidak kau pikirkan dahulu akibatnya. Ckck, sekarang kau sudah jadi mayat. Untung saja aku masih mengenali dirimu lewat cawat cassanova yang kau pakai. Dengan begini, kau justru menyusahkanku, bagaimana aku memandikan mayatmu ini?

 

(Melihat Dua Orang Anak Pencari Rumput)

 

Hei, kalian berdua! Ke sini! Bantu aku kuburkan mayat karibku! Eh-eh, mau ke mana kalian? Jangan kabur dulu! Dasar orang, disuruh membantu orang kesusahan tidak mau, coba saja kalau di kasih uang, wah pasti langsung berbondong-bondong datang.

(Berdiri Bingung Tak Tau Berbuat Apa)

 

Uh, atau dengan itu saja ya?

 

(Sambil Berjalan Untuk Mengambil Sebuah Tempurung)

 

AKU (Mulai Menyirami Mayat Karibnya)

Ah, Jakarta! Tak kan aku lupakan kata itu. Kau selalu menyebutnya beberapa kali. Hush! Hush! Dasar lalat-lalat pengganggu, pergi kalian!

 

(Sambil Menggali Pasir Membujur Ke Utara, Aku Melantunkan Tembang)

 

Kanggo pemut, tansah sabar uga syukur

Gumantung kahanan

Narima sabar yen sedhih

Tampa kanugrahaning Gusti, syukura

 

Kang kasuwun, sabar yen kena pakewuh

Gumanti bakalnya

Narpa putra matswapati

Tansah sae prasangka mring Gusti Allah

 

Kang banjure, gedhekna rasa syukurmu

Gulangen kaya nyatra

Narpada ing butuh yekti

Tata tentrem ati lamun keh dedana

 

(Memasukkan Mayat Karibnya Ke Dalam Lubang Pasir Sedalam Lutut)

 

Meskipun kau mati dengan cara seperti ini, aku tetap sembahyang untuk mayatmu. Semoga saja kau tenang di sana. Tak lagi menanggung beban kehidupan.

 

(Lalu Aku Sembahyang Untuk Mayat Karibnya)

 

AKU

Tak kusangka waktuku denganmu sesingkat ini. Padahal baru saja aku bisa mengobrol lagi denganmu setelah sekian lama berpisah. Kini sang maut yang memisahkan, biarlah nanti kita bertemu lagi di lain kesempatan di alam selanjutnya.

 

(Memiringkan Mayat, Menutupkan Daun-Daun Jati, Menimbunkan Pasir, Dan Membuat Nisan Dari Sebuah Batu Besar)

 

Selamat tinggal karibku, semoga kau bahagia dengan pilihanmu itu.

 

AKU LALU MENINGGALKAN TEPIAN KALI SERAYU. BANYAK ORANG MENONTON, TERMASUK DUA ANAK PENCARI RUMPUT. MEREKA MELIHAT DENGAN HERAN. AH, JAKARTA. KATA-KATA ITU MENAMPAKKAN SISI COMPANG-CAMPING DAN BELEPOTAN. SEBENTAR LAGI KALI SERAYU AKAN BANJIR. KUBURNYA AKAN TERSAPU AIR BAH. BELULANGNYA  AKAN JADI ANTAH BERANTAH.

 

LAMPU BLACKOUT

 

ADEGAN 3

FLASHBACK KE KEJADIAN SEBELUMNYA. PADA SUATU MALAM YANG KELAM, DIA DATANG DENGAN TERPINCANG-PINCANG. LIMA JARI KAKI KANANNYA TERLUKA DENGAN PERBAN YANG TELAH KUMAL. SUDAH TIGA TAHUN LEBIH TAK ADA KABAR DARINYA. WAJAHNYA YANG GELAP KINI PENUH AKAN TANDA TANYA .

 

AKU (Terkejut)

Astaga! Sudah lama aku tak melihat dirimu.

 

(Sambil Memapahnya Masuk Ke Rumah)

 

Bagaimana kabarmu kini?

 

(Sambil Mengganti Perban Karibnya)

 

DIA (Acuh)

Mending kau ambilkan aku koran kemarin, atau hari ini! Aku butuh membacanya.

 

AKU

Untuk apa semua itu?

 

DIA (Membentak)

Nanti kuberitau, ambilkan saja!

 

AKU

Tidak, sebelum kau menceritakan semuanya. Ingat kau di mana sekarang, rumahku, maka ikuti aturanku. Kau masih karibku bukan?

 

DIA (Sambil Mengibaskan Tangan)

Baiklah, baiklah.

 

(Matanya Menatapku. Lalu Menunduk)

 

Aku ini bekas sopir. Sedan yang kusewa bersama ketiga temanku menabrak tiang listrik di Jalan Matraman.

 

AKU

Lalu, ke mana tiga lainnya? Kau hanya datang sendiri.

 

DIA

Tak bangun. Mungkin mati. 

 

(Berkata Tanpa Rasa Bersalah)

 

AKU

Tunggu, seperti ada yang tidak beres dengan ceritamu. Untuk apa kau melarikan diri sampai kepayahan seperti ini? Sudah, jujur saja. Bukankah kita sudah lama saling mengenal? Masak kau tak mempercayaiku.

 

DIA (Mendengus)

Ternyata kau masih sama seperti dulu, tidak bisa dibohongi.

 

(Terdiam Cukup Lama)

 

Kami baru berangkat operasi. Ada golok, gunting kawat, dan clurit dalam mobil itu. Habis aku kalau tertangkap.

 

AKU (Menganggukan Kepala)

Kau sekarang seperti itu. Mengapa?

 

DIA

Ah, Jakarta. Jangan terlalu dipikirkan kawan. Mending kau beri aku koran kemarin saja.

 

(Menatap Dengan Datar)

 

AKU

Baiklah.

 

(Mengambil Koran)

 

Ini ambillah!

 

DIA (Membolak-Balikkan Halaman Koran)

Ah, tidak ada.

 

(Mengambil Koran Lain)

 

Nah, ketemu. Tuh, baca sendiri!

 

(Melempar Koran Ke Meja)

 

AKU (Membaca Koran Dengan Serius)

Berita tentangmu bahkan termuat di koran. Seperti artis saja dirimu ini. Memang tak ada pilihan lain? Jadi buronan kau sekarang.

 

DIA

Ah, Jakarta. Biarkan saja, sudah nasibku seperti ini.

 

(Sambil Menyenderkan Punggungnya Ke Kursi)

 

AKU (Menghela Napas)

Kau taukan, berat menerima buronan seperti kau ini. Kalau orang lain yang kau datangi, pasti sudah diusir dirimu. Untung kau mendatangi aku, karibmu dulu.

 

DIA (Kembali Menegakkan Punggung)

Hmm..tak takut dirimu menerima buronan sepertiku ini? Siapa tau kau terpaksa kan dan diam-diam melaporkanku pada polisi. Ah, atau mungkin ke ketua RT?

 

(Lalu Menatap Aku Curiga)

 

Kalau kau terpaksa bilang saja, aku tak mau membuatmu susah.

 

AKU

Mana ada aku terpaksa. Tenang, kau sama sekali tak menyusahkanku. Asal tak ada yang tau saja, aman dirimu di sini. Lagipula, kedatanganmu mengingatkan diriku akan masa kecil kita dulu.

 

(Menerawang Jauh)

 

Ingatkah dirimu? Di pematang sawah, berlarian sambil telanjang bulat. Atau saat kita berdua semangat mencari telur burung hanyaman, membalutnya dengan lepung dan membakarnya. Ah, bahkan aku masih ingat rasanya sampai sekarang.

 

DIA (Sambil Tertawa Hambar)

Kita berdua nakal sekali ternyata dulu.

 

AKU

Bisa tertawa juga dirimu ini. Ingat tidak waktu kita berdua menyelam di lubuk mencari udang batu? Membakarnya dalam pasir panas sampai warnanya merah. Uh, enak, gurih dan manis menjadi satu.

 

DIA (Ikut Menerawang Jauh)

Kalau ingat masa itu, rasanya aku ingin sekali mengulangnya. Kita masih dua bocah cilik tanpa dosa, tanpa menanggung beban hidup.

 

(Setetes Air Mata Jatuh Dari Matanya)

 

AKU (Ikut Menyendu)

Aku paling suka saat kita bermain rebut pati. Mencari belut sambil adu ketangkasan. Menyebalkan sekali aku selalu kalah darimu, kau dulu kuat sekali.

 

DIA (Terkekeh)

Tentu saja aku kuat, lagipun, kau ini kurus kerempeng.

 

AKU (Tertawa)

Daripada dirimu, masih kecil sudah berotot. Macam siapa itu? Ah, Ade Rai!

 

(Tertawa Terbahak-Bahak)

 

DIA

Kurang ajar dirimu ini! Mana ada aku seperti Ade Rai, tampan begini.

 

(Memegang Wajah Dengan Tangan)

 

AKU (Kepada Dia)

Sebenarnya, kau menang bukan karena kuat kan? Tau aku ini. Kau gigit belut itu pakai mulutmu biar aku tak bisa mengambilnya, licik sekali dirimu.

 

(Melotot Main-Main Ke Arahnya)

 

DIA (Merasa Bangga)

Baru sadar kau?

 

AKU (Masam Mukanya)

Sudah sadar dari lama, hanya saja aku malas mendebatmu. Oh hampir lupa aku, kau bisa mandi di sini, menginaplah di rumahku untuk sementara waktu!

 

DIA

Ah, Jakarta. Kita lihat saja nanti.

 

ADEGAN 4

DARI DALAM RUMAH, KELUAR ISTRI AKU MEMBAWAKAN KOPI DAN PISANG REBUS AMBON NANGKA. DIA LALU MAKAN DENGAN LAHAPNYA.

 

AKU (Menatap Dia Makan)

Aku masih bersyukur, kau tak mati seperti ketiga temanmu.

 

DIA (Masih Fokus Makan)

Sudah mati, ya mati sajalah. Palingan diriku nanti teringat yang masih hidup.

 

AKU

Siapa? Anak dan Istrimu?

 

DIA

Bukan, bukan mereka. Istriku, dia sudah kembali ke rumah orang tuanya.

 

AKU

Cerai kau?

 

DIA

Ya, begitulah.

 

AKU

Lalu, anakmu?

 

DIA

Mereka ikut dengan ibunya. Tak perlu lagi ku khawatirkan, aman mereka di sana. Aku justru lebih menghawatirkan si Jabri.

 

(Wajahnya Langsung Muram)

 

AKU

Siapa lagi si Jabri ini?

 

DIA

Dia ini temanku yang baik. Sering kusewa mobilnya, maksudku mobil majikannya. Kasihan dia harus ganti rugi.

 

(Wajahnya Tampak Sedih)

 

ADEGAN 5

MALAM SEMAKIN LARUT. PERCAKAPAN MULAI MENGALIR DENGAN LANCAR. DIA YANG MULANYA MASIH HATI-HATI MENCERITAKAN KEHIDUPANNYA DI JAKARTA AKHIRNYA MEMBUAT PENGAKUAN-PENGAKUAN MENGEJUTKAN YANG MUNGKIN SANGAT DISUKAI PIHAK KEPOLISIAN.

 

DIA

Aku memiliki sebuah kelompok. Hari itu, kami mulai beroperasi dengan mengintai toko elektronik. Setiap ada orang yang membeli TV warna atau video, salah satu dari kami bertugas mengikutinya sampai rumah. Dia harus melihat apakah orang yang diikuti itu memiliki anjing atau tidak. Kau tau? Anjing lebih sulit dijinakkan daripada hansip. Setelah berhari-hari pengintaian, kami akan merampok rumah tersebut. Tidak perlu menunggu malam hari untuk memulai aksi selagi pintu halaman gampang diterobos dengan gunting kawat. Kelompok kami bahkan sudah menguasai ilmu mencongkel pintu rumah utama yang berdaun tunggal atau rangkap.

 

AKU (Dengan Penasaran)

Wuih, ahli juga kau dan kelompokmu itu. Lalu, dengan apa kau biasanya menerobos masuk? Apakah ada alat khususnya?

 

DIA (Semangat Bercerita)

Tak ada alat khusus, paling hanya pakai jepit kuku buatan Taiwan.

 

(Sambil Mempraktikkan Mendobrak Jendela Nako Rumah Aku)

 

AKU (Terkejut)

Waduh, jangan kau peragakan pada jendelaku juga, sudah tau rumahku ini reyot. Pasti mudah sekali kau terobos.

 

DIA (Tampak Tenang Dan Luwes)

Santai, nanti kuperbaiki lagi seperti semula. Lihatlah! Setelah salah satu daun kacanya berhasil tercongkel dari luar, kisi-kisi harus ditekan ke dalam dengan dorongan kaki. Kau tau tidak gunanya untuk apa?

 

AKU

Pakai tanya lagi? Aku ini bukan dirimu, seorang perampok ahli.

 

(Sambil Merangkul Sang Karib)

 

DIA (Mendengus Geli)

Gunanya agar kisinya tidak melenting, jadi kedua ujungnya harus dipegang. Kalau kisinya sudah jebol, selesai sudah. Rumah sekokoh apapun gampang diterobos. Tapi, kami juga pilih-pilih mencari korban. Harus yang benar-benar kaya.

 

AKU

Memang kenapa harus yang benar-benar kaya?

 

DIA

Ya, karena kebanyakan orang kaya tidak banyak berulah kalau barang-barangnya dicuri. Toh, nanti mereka bisa beli lagi, uangnya tak bakal habis.

 

AKU (Manggut-Manggut)

Betul juga. Lalu? Lanjutkan lagi ceritamu, aku masih ingin mendengar.

 

DIA (Kembali Duduk)

Pernah waktu itu, kami merampok rumah orang kaya di daerah Kebayoran. Tiba-tiba ditodong pistol oleh tuan rumah, ternyata terbangun dia saat mendengar kami mencongkel jendela. Keruh sekali suasana saat itu, dia dan kami bahkan telah siap berkelahi. Untung saja tuan rumah memberikan penawaran yang menarik.

 

AKU

Apa itu?

 

DIA

Dia menawarkan barang-barangnya asalkan kami tidak membuat keributan. Kau tau kenapa dia seperti itu? Ternyata dia ini seorang pejabat. Di rumah itu dia sedang ngadon dengan istri muda. Daripada masuk koran kan, makanya dia ambil jalan tengah yang menguntungkan kedua belah pihak.

 

AKU (Menggelengkan Kepala)

Ada-ada saja ulah orang-orang kaya itu.

 

DIA

Yah, Jakarta!

 

(Sambil Tertawa Renyah)

 

ADEGAN 6

PADA TENGAH MALAM, DIA TELAH TERTIDUR DENGAN NYENYAK DI DALAM KAMAR YANG TELAH DISEDIAKAN OLEH AKU. LALU, ISTRI AKU DATANG UNTUK BERTANYA SUATU HAL.

 

ISTRI (Berbisik Ke Aku)

Siapa dia?

 

AKU

Dia anak sini asli, teman sepermainanku dulu.

 

ISTRI (Masih Berbisik)

Ceritanya mengesankan. Gali ya?

 

AKU

Ya, begitulah. Seperti yang telah kamu dengar.

 

ISTRI

Nah, awas kamu. Aku tidak ingin ada bangkai manusia yang pernah menginap di rumah ini. Kau tahu orang-orang macam dia yang kini mayatnya tercampak di mana-mana kan?

 

AKU (Menutup Mata Dengan Bantal)

Hmm..

 

ISTRI (Menyerocos)

Ham hem ham hem. Sudah tau dia itu gali, masih saja kau bolehkan tinggal. Apa kata tetangga kalau mereka tau? Malu aku ini. Belum lagi jika ada yang melapor, kau bisa kena juga nanti. Ikut ditangkap sebab menyembunyikan seorang buronan.

 

AKU

Tidak akan aku ditangkap.

 

ISTRI

Tidak akan kamu bilang? Alah, omong kosong saja. Apa kamu bisa menjamin kalau di sudah insyaf. Bagaimana jika dia hanya berpura-pura agar kau kasihan. Lalu, boom, ternyata dia hanya mau merampokmu saja.

 

AKU (Menyorot Tak Suka Ke Istri)

Mana ada dia seperti itu. Aku telah mengetahui tabiatnya.

 

ISTRI

Dia ini sudah beda. Telah bertahun-tahun kamu baru bertemu dengannya lagi, mana tau kalau dia sudah tercemar perilaku buruk selama di Jakarta. Dia sendiri saja tidak merasa bersalah meninggalkan ketiga temannya sekarat. Begitu bangganya dirinya jadi perampok. Kamu ini terlalu baik, di  tentu telah tau sifatmu itu. Bisa jadi dia memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.

 

AKU

Sudah, mengomel terus dirimu ini. Tidur saja, tidak lelah kau begitu?

 

(Mulai Mencari Posisi Nyaman Untuk Tidur)

 

ISTRI

Huh, dasar bebal!

 

(Ikut Mencari Posisi Nyaman Untuk Tidur)

 

PAGI HARINYA SETELAH SUBUH, DIA SUDAH LENYAP ENTAH KE MANA. HANYA ADA TULISAN DI ATAS BEKAS BUNGKUS ROKOK YANG DIA TINGGALKAN.

 

AKU (Membaca Tulisan Itu)

Terima kasih. Aku segera pergi supaya tidak merepotkan dirimu.

 

(Menghela Napas Lelah)

 

Mau pergi ke mana dirimu itu? Kenapa tak kau terima saja bantuan dari karibmu ini? Huh, aku hanya tak ingin nantinya mendengar kabarmu yang mati sia-sia seperti berita para gali yang sudah-sudah.

 

SELESAI

 

Keterangan dari tembang berbahasa Jawa:

Kanggo pemut, tansah sabar uga syukur

Untuk diingat agar selalu bersabar juga bersyukur

 

Gumantung kahanan

Dalam setiap keadaan

 

Narima sabar yen sedhih

Bersabarlah dalam setiap kesedihan

 

Tampa kanugrahaning Gusti, syukura

Ketika mendapat anugerah Allah, bersyukurlah

 

Kang kasuwun, sabar yen kena pakewuh

Yang diminta, bersabarlah ketika mendapatkan musibah

 

Gumanti bakalnya

Suatu saat pasti akan berganti

 

Narpa putra matswapati

Putra raja Matswapati

 

Tansah sae prasangka mring Gusti Allah

Selalu berprasangka baik kepada Allah

 

Kang banjure, gedhekna rasa syukurmu

Selanjutnya, perbanyaklah rasa syukurmu

 

Gulangen kaya nyatra

Latihlah dengan sungguh-sungguh

 

Narpada ing butuh yekti

Sungai di butuh (bedana)

 

Tata tentrem ati lamun keh dedana

Rasa tenteram di hati jika kamu banyak berderma

 

Edisia Permata

Yogyakarta, 29 April 2023

Contoh Berita Opini. Mengulik Misteri Gedung Kuliah I WS. Rendra, Bikin Merinding Mahasiswa

  Penulis: Annas Tasya Azzahra Ramadhani Edisia Permata Nur Islami (01/11/23) 20.23 WIB Gedung Kuliah 1 WS. Rendra Yogyakarta - Mereka yang ...